Jumat, 31 Desember 2010

cara perhitungan tenaga perawat

Langkah-langkah untuk perhitungan tenaga keperawatan
1. Tentukan terlebih dahulu rata-rata jumlah pasien berdasarkan tingkat ketergantungannya
a. Asuhan Keperawatan Langsung (Gillies)
* Self care = ¼ x 4 = 1 jam
* Partial care = ¾ x 4 = 3 jam
* Total care = (1-1,5) x 4 = 4-6 jam
* Intensive = 2 x 4 = 8 jam
b. Asuhan tidak langsung (dokumentasi, dll) = Wolfe&Young = 60 menit/klien/hari 
c. Pendidikan Kesehatan : 15 menit/hari/klien = 0,25 jam 

2. Tentukan rata-rata jumlah pasien perhari = BOR x Tempat Tidur
Hal ini bisa secara langsung pula dilihat dari jumlah pasien berdasarkan hal yang no 1, jadi tidak perlu repot-repot menghitung kembali rata-rata jumlah pasien

3. Hitunglah dengan menggunakan formula (misal formula PPNI)



125% pada formula ini diasumsikan karena asuhan keperawatan yang dilakukan oleh perawat di Indonesia masih berpola pada tindakan yang banyak ke arah tindakan non keperawatan sehingga perlu ditambahkan jumlahnya, selain itu diasumsikan bahwa kinerja keperawatan oleh perawat Indonesia masih 75%.

Contoh :
Hasil analisis selama 6 bulan Pada ruangan dengan kategori medikal bedah didapatkan rata-rata pasien yang dirawat : Self care 5 orang, partial care 10 orang dan total care 5 orang

Jawaban:
Dari data di atas kita sudah tahu untuk rata-rata pasien (TT x BOR) = 20 orang, dan langkah selanjutnya kita harus menghitung terlebih dahulu jam asuhan yang harus diberikan :
Self Care = (5 x 1 jam) + (5 x 1 jam) + (5 x 0,25 jam) = 11,25 jam
Partial Care = (10 x 3 jam) + (10 x 1 jam) + (10 x 0,25 jam) = 42,5 jam
Total Care = (5 x 6 jam) + (5 x 1 jam) + (5 x 0,25) = 36,25 jam

Total Jam asuhan = 11,25 + 42,5 + 36,25 = 90 jam/20 pasien
Rata-rata jam asuhan = 4,5 jam

Maka Jumlah keseluruhan kebutuhan tenaga keperawatan adalah
TP=((4,5 x52x7x20)/(1640 jam) ) x 125% = 24,9 orang perawat

Dibulatkan menjadi 25 orang perawat pelaksana

Catatan : Jumlah Perawat bukan hal yang utama dalam pemberian pelayanan tetapi terdapat aspek lain yang sangat berperan yaitu KOMITMEN PERAWAT dalam melaksanakan Asuhan.

PENANGANAN PENDERITA CEDERA PRA RUMAH SAKIT OLEH MASYARAKAT AWAM

Kualitas pertolongan pertama penderita cedera akan meningkatkan keberhasilan penanganan pada periode berikutnya. Banyaknya kasus-kasus kecelakaan di jalan raya yang merupakan kasus gawat darurat yang  menuntut peran serta semua masyarakat pengguna jalan raya untuk ikut serta memikul tanggung jawab untuk menghindari penderita cerdera mengalami kematian atau gangguan yang lebih parah akibat kesalahan dan keterlambatan dalam memberikan pertolongan. Perlunya masyarakat awam sebagai pengguna jalan raya maupun awam khusus seperti polosi, PMI, pramuka mempunyai kemampuan mengenali gangguan dan dapat memberikan pertolongan agar penanganan pertama penderita dapat meningkatkan kualitas hidupnya, karena biasanya masyarakatlah yang pertama menjumpai adanya kasus kasus kecelakaan tersebut. Teknik teknik estrikasi atau avakuasi, imobilisasi atau stabilisasi dan pemberian bantuan hidup dasar sampai transportasi menuju rumah sakit menjadi salah satu faktor penentu keberhasilan penanganan, sehingga teknik-teknik tersebut perlu dipahami oleh masyarakat.

Kata kunci: Cedera, gawat darurat, pertolongan pertama, masyarakat awam

PENDAHULUAN
Trauma merupakan penyebab utama kematian pada populasi di bawah 45 tahun, dan merupakan penyebab kematian nomor 4 pada seluruh populasi. Lebih dari 50% kematian disebabkan oleh cedera kepala dan kecelakaan kendaraan bermotor. Setiap tahun yang mengalami cedera kepala lebih dari 2 juta orang, 75.000 orang di antaranya meninggal dunia. Lebih dari 100.000 orang yang selamat akan mengalami disabilitas permanen (Suara Medreka online, 2007)
Menurut Dinas Perhubungan Darat data kecelakaan lalu lintas memperlihatkan bahwa pada tahun 2006 sebanyak 36.000 orang tewas akibat kecelakaan di jalan raya, 19.000 orang di antaranya melibatkan pengendara sepeda motor. Itu berarti dalam tahun 2006
setiap hari ada sekitar 52 orang yang tewas dalam kecelakaan yang melibatkan sepeda motor. Angka itu menunjukkan peningkatan sebesar 73,33 persen daripada angka dua tahun yang lalu, yang hanya sekitar 30 orang (hubdat 2007).
Terlepas dari berat ringanya trauma, kualitas pertolongan pertama di tempat kejadian sangat menentukan keselamatan korban pada periode pertolongan berikutnya. Masalah yang dihadapi saat ini adalah belum optimalnya pertolongan awal di tempat kejadian. Banyak masyarakat umum belum mempunyai kemampuan untuk malakukan pertolongan pertama pada korban kecelakaan, kadang juga takut memberikan pertolongan dengan alasan ikut diminta “bertanggungjawab”. Padahal management pertolongan cedera kepala sudah dimulai sejak penanganan pertama. Teknik teknik estrikasi atau avakuasi, imobilisasi atau stabilisasi dan pemberian bantuan hidup dasar sampai transportasi menuju rumah sakit menjadi salah satu faktor penentu keberhasilan penanganan. Siapa yang harus bertanggungjawab? Tentunya ini menjadi tanggungkjawab kita semua, sebagai sopir, awam, polisi dan siapapun pengguna jalan raya mestinya mempunyai tanggungjawab untuk penanganan kedaruratan disekitar kita.

PERTOLONGAN PERTAMA PENDERITA CEDERA PRA RUMAH SAKIT
Fokus penanganan korban dengan cedera kepala pada area pra rumah sakit adalah menyelamatkan nyawa dan mencegah kecacatan. Pada fase pra rumah sakit titik berat diberikan pada menjaga kelancaran jalan nafas, kontrol adanya perdarahan dan syock, stabilisasi pasien dan transportasi ke rumah sakit  terdekat.

Airway (jalan nafas)
Gangguan oksigenasi otak dan jaringan vital lain merupakan pembunuh tercepat pada kasus trauma. Guna menghindari gangguan tersebut penanganan masalah airway menjadi prioritas diatas segala masalah yang lainya. Beberapa kematian karena masalah airway disebabkan oleh karena kegagalan mengenali masalah airway yang tersumbat baik oleh karena aspirasi isi gaster maupun kesalahan mengatur posisi sehingga jalan nafas tertutup lidah penderita sendiri.
Pengenalan segera terhadap adanya gangguan jalan nafas harus segera di ketahui. Terganggunya jalan nafas dapat secara tiba-tiba dan komplit, perlahan maupun progresif. Pada pasien sadar yang dapat berbicara biasa bisa dijamin memiliki airway yang baik (walaupun sementara), karena itu tindakan pertama adalah berusaha mengajak bicara dengan penderita. Jawaban yang baik menjamin airway dan sirkulasi oksigen ke otak masih baik.
Pada pasien dengan penurunan kesadaran mempunyai resiko tinggi untuk terjadinya gangguan jalan nafas., selain mengecek adanya benda asing, sumbatan jalan nafas dapat terjadi oleh karena pangkal lidahnya terjatuh ke belakang sehingga menutupi aliran udara kedalam paru. Selain itu aspirasi isi lambung juga menjadi bahaya yang mengancam airway.

Breathing (membantu bernafas)
Tindakan kedua setelah meyakini bahwa jalan nafas tidak ada hambatan adalah membantu pernafasan. Pastikan pernafasan pasien masih ada. Karena henti nafas seringkali terjadi pada kasus trauma kepala bagian belakang yang mengenai pusat pernafasan atau bisa juga penanganan yang salah pada pasien pada pasien cedera kepala justru membuat pusat pernafasan terganggu dan menimbulkan henti nafas.  Keterlambatan dalam mengenali gangguan pernafasan dan membantu ventilasi/pernafasan akan dapat menimbulkan kematian. Sehingga kemampuan dalm memberikan bantuan pernafasan menjadi prioritas kedua.

Circulations (Mengontrol perdarahan)
Upaya untuk mempertahnakan cirkulasi yang bisa dilakukan pra rumah sakit adalah mencegah hilangnya darah pada kasus-kasus trauma dengan perdarahan. Jika ditemukan adanya perdarahan, segera lakukan upaya mengontrol perdarahan itu dengan memberikan bebat tekan pada daerah luka. Pemberian cairan melalui oral mungkin dapat dilakukan untuk mengganti  hilangnya cairan dari tubuh jika pasien dalam keadaan sadar. Perlu dipahami dalam tahap ini adalah mengenal tanda-tanda kehilangan cairan sehingga antisipasi terhadap kemungkinan terjadinya syock.

Stabilisasi (mempertahankan posisi)
Seringkali perubahan posisi pasien yang tidak benar justru akan menambah cedera yang dialami. Tidak jarang pada kasus cedera tulang belakang yang penanganan stabilisasi tidak baik justru menyebabkan cedera sekunder yang mengakibatkan gangguan menjadi lebih parah dan penyembuhan yang tidak sempurna. Pemasangan bidai pada trauma ekstremitas, long spine board pada kasus cedera tulang belakang dan neck colar pada cedera leher dapat serta alat-alat stabilisasi sederhana yang lain bisa mengurangi resiko kerusakan akibat sekunder karena posisi yang tidak stabil.

Transportasi (pengankutan menuji Rumah Sakit)
Sebisa mungkin segeralah penderita di bawa ke rumah sakit terdekat agar penanganan dapat dilakukan secara menyeluruh dengan peralatan yang memadai. Namun perlu di ingat kesalahan dalam transportasi juga menyebabkan cedera yang diderita bisa bertambah berat. Pilihkah alat transportasi yang memungkinkan sehingga stabilisasi dapat di pertahankan, airway, breathing dan cirkulasi dapat selalu di pantau .

PERAN MASYARAKAT AWAM
  1. AIR WAY (Menjaga kelancaran jalan nafas)
Tanda obyektif dapat diketahui dengan tiga pengamatan look,  listen and feel. Look berarti melihat adanya gerakan pengembangan dada dan listen adalah mendengarkan suara pernafasan. Seringkali suara mengorok dan bunyi gurgling (bunyi cairan) menandakan adanya hambatan jalan nafas. Sedangkan feel adalah merasakan adanya hembusan udara saat klien melakukan ekspirasi yang bisa kita rasakan pasa pipi maupun punggung tangan penolong. Jikas ketiga tanda ini dapat kita temukan artinya pernafasan klien masih ada.
Untuk memperlancar jalan nafas, lakukan upaya dengan dua metode yaitu Haed till dan Chin lift, yaitu tindakan mendorong kepala agak kebelakang dan menganggakt dagu ke atas. Dengfan manuver ini maka jalan nafas akan terbuka sehingga aliran udara bisa lancar sampai di paru. Bila korban dicurigai adanya trauma cervical yang biasanya ditandai dari adanya jejas pada dada, leher, dan muka/wajah, maka dua manuver tadi harus dihindari agar tidak menambah cedera leher yang terjadi tetapi lakukan Jaw Thrust Manoever

  1. BREATHING (Menjaga/membantu bernafas)
Bila airway sudah baik belum tentu pernafasan akan baik, sehingga perlu selalu dilakukan pemeriksaan apakah pernafasan penderita sudah adekuat atau belum.
Perubahan pernafasan dapat kita lihat dari pengamatan frekwensi pernafasan normalnya pada orang dewasa frekwensi pernafasan per menit adalah 12 – 20 kali permenit sedangkan anak 15 – 30 kali per menit. Sehingga pada orang dewasa dikatakan abnormal bila pernafasan lebih dari 30 atau kurang dari 10 setiap menit. Pada pasien yang didapati mengalami henti nafas, maka tindakan yang dilakukan adalah melakukan pernafasan buatan. Tindakan ini dapat dilakukan melalui mouth to mouth. Tindakan pemberian fasas buatan secara langsung dari mulut ke mulut sudah tidak dianjurkan karena beresio terjadinya infeksi atau penularan penyakit, karena itu penolong harus menggunakan barrier device (alat poerantara).

  1. CIRCULATIONS (Memertahankan sirkuilasi dan kontrol perdarahan).
Seringkali pasien dengan trauma juga mengalami perdarahan. Hall yang harus dilakukan adalah bagaimana agar perdarahan bisa segera dihentikan. Beberapa perdahahan kecil dan perdarahan vena mungkin lebih mudah diatasi, sedangkan perdarahan arteri biasanya sulit diatasi dan dapat segera menyebabkan syock sirkulasi.
Tanda-tanda adanya kehilangan cairan (darah) dapat di ketahui dari pemeriksaan sederhana seperti nadi, tekanan darah dan respirasi. Pada perdarahan ringan kurang dari 750 ml biasanya ditemukan tekanan darah masih normal dan nadi lebih dari 100 kali per menit dan pernafasan meningkat 20 – 30 kali per menit. Pada perdarahan sedang dan berat Tekanan darah akan menurun disertai peningkatan nadi dan respirasi lebih dari perdarahan ringan.
Perdarahan dapat dikontrol dengan melakukan bebat tekan pada daerah luka. Dengan bebet tekan ini diharapkan pembuluh darah yang rusak akan dapat di tutup sehingga perdarahan akan dapat di kurangi. Penggunanna teknik ikatan (torniquet) tidak dianjurkan karena tindakan ini beresiko mengakibatkan terhentinya vaskularisasi ke ujung ekstremitas yang dapat mengakibatkan kematian jaringan.

  1. EVAKUASI DAN STABILISASI (pemindahan dan mempertahankan posisi)
Kebanyakan para penolong yang tidak tahu cara-cara pengangkatan dan pemindahan penderita yang benar akan membuat cedera semakin parah pada saat pemindahan penderita. Beberapa hal yang harus diperhatikan oelh penolong saat melakukan pemindahan adalah :
    1. Kenali kemampuan diri dan kemampuan pasangan kita, jika tidak mampu jangan paksakan
    2. Kedua kaki berjarak sebahu kita, satu kaki sedikit di depan kaki sebelahnya.
    3. Berjongkok  jangan membungkuk saat mengangkat.
    4. Tubuh sedekat mungkin dengan beban yang harus diangkat.
Pada pasien dengan trauma cervikal dan tulang belakang pemindahan penderita harus dilakukan dengan hati hati dan tidak dapat dilakukan sendirian. Tiga penolong dengan masing-masing menyangga bagian atas tengah dan bawah akan mengurangi kemungkinan cedera menjadi lebih parah. Dalam memiringkan juga perlu dilakukan secara bersama yang disebut dengan teknik log roll. Untuk menghindari cedera sekunder gunakan bidai, long spine board dan neck colar untuk mensabilkan posisi penderita.

  1. TRANSPOTRASI. (pengangkutan menuju Rumah Sakit)
Pemilihan sarana transportasi yang salah juga bisa menimbulkan cedera yang lebih parah pada pasien. Idealnya transportasi pasien cedera kepala adalah menggunakan ambulan dengan peralatan trauma. Tetapi untuk daerah yang akses pertolongan pertama oleh ambulan tidak bisa cepat, jangan berlama-lama untuk menunggu datangnya ambulan. Pilih mobil dengan kriteria sebagai berikut:
Pilih mobil yang bisa membawa pasien dengan tidur terlentang tanpa memanipulasi pergerakan tulang belakang, penolong leluasa bergerak untuk memberikan pertolongan bila selama perjalanan terjadi sesuatu. Hal yang juga penting selama perjalanan adalah komunikasi dengan pihak rumah sakit. Dengan melaporkan kondisi korban, penanganan yang telah dan sedang dilakukan termasuk meminta petunjuk darii petugas pelayanan gawat darurat rumah sakit tentang apa yang harus dikerjakan bila menemui kesulitan. Pihak unit gawat darurat juga dapat mempersiapkan segala sesuatu yang diperlukan untuk pertolongan korban sesampainya di rumah sakit.

KESIMPULAN
Penderita umumnya ditemukan oleh orang terdekat yang dapat dikategorikan sebagai orang awam misalnya guru, orangtua, sopir dan crew angkutan atau awam khusus seperti polisi, satpam, pramuka, PMR, petugas pemadam kebakaran atau yang lainya. Kemampuan awam pada penanggulangan gawat darurat ini berfokus pada beberapa hal seperti: cara meminta pertolongan, memberikan bantuan hidup dasar, mengontrol perdarahan, memasang pembalut dan bidai sebagai upaya stabilisasi dan transportasi menuru rumah sakit terdekat.
Penanganan cedera pra rumah sakit sangat dipengaruhi oleh beberapa komponen yang saling terkait  yaitu kecepatan ditemukannya korban, kecepatan permintaan pertolongan dan kualitas pertolongan yang diberikan.
Beberapa tahapan pertolongan pertama pada penderita cedera sangat penting dipahami oleh masyarakat awam. Dengan kemampuan yang dimiliki diharapkan adanya peningkatan kualitas pertolongan pertama pada kasus kecelakaan sehingga keselamatan nyawa korban dapat diselatkan dan mengurangi kemungkinan cedera yang bertambah akibat pertolongan yang salah. Kemampuan yang dimiliki masyarakat juga harus diimbangi dengan kesiapan rumah sakit menjadi rujukan cedera dengan memperbaiki sistem komunikasi dan pelayanan cepat terhadap kebutuhan pelayanan mobile seperti ambulan yang dilengkapi dengan perlengkapan pertolongan cedera. Penting di bentuk adanya sistem penanggulangan gawat darurat terpadu yang melibatkan unsur masyarakat di lapangan sampai penanganan rumah sakit..


DAFTAR PUSTAKA


Ellis, J.R., et al, 1996, Modul for Basic Nursing Skills, Volume 1 6 th ed. Philadelphia: lippincott


http://www.suaramerdeka.com/harian/0602/18/opi5.htm di akses 16 Agustus 2007

http://www.tempo.co.id/medika/arsip/012002/art-1.htm - 19k di akses 1 Nopember 2007

Polaski, A.L., Tatro, S,E., 1996, Medical-Surgycal Nursing, WB Saunders Company, Philadelphia

Purwadianto, A., Sampurna, B., 2000, Kedaruratan Medik, Binarupa aksara,
Jakarta

Sleltzer, C,S., Bare, B,G.,2001, Buku ajar Keperawatan Medikal Bedah, Alih bahasa Agung Waluyo dkk, EGC, Jakarta.

Yayasan Ambulan Gawat Darurat 118 Jakatra:  Basic Trauma and Cardiac Life
Support, Makalah Pelatihan Tidak dipublikasikan

lupus eritematosus sistemik (SLE)

lupus eritematosus sistemik (SLE) adalah kronis gangguan autoimun . SLE dapat mempengaruhi kulit, sendi, ginjal, dan organ lainnya.

Penyebab

SLE (lupus) adalah penyakit autoimun. Ini berarti ada masalah dengan respon sistem normal kekebalan tubuh.
Biasanya, sistem kekebalan tubuh membantu melindungi tubuh dari zat berbahaya. Tapi pada pasien dengan penyakit autoimun, sistem kekebalan tubuh tidak bisa mengatakan perbedaan antara zat berbahaya dan yang sehat. Hasilnya adalah respon imun yang terlalu aktif yang menyerang sel sehat dan jaringan. Hal ini menyebabkan jangka panjang (kronis) peradangan.
Penyebab penyakit autoimun tidak sepenuhnya diketahui.
SLE mungkin ringan atau cukup berat sehingga menyebabkan kematian.
SLE mempengaruhi sembilan kali lebih banyak wanita laki-laki. Hal itu dapat terjadi pada semua usia, tetapi paling sering muncul pada orang berusia antara 10 dan 50. Afrika Amerika dan Asia yang terkena lebih sering daripada orang dari ras lain.
SLE juga bisa disebabkan oleh obat-obatan tertentu. Untuk informasi tentang ini penyebab SLE, lihat obat-induced lupus eritematosus.

Gejala

Gejala bervariasi dari orang ke orang, dan dapat datang dan pergi. Kondisi ini dapat mempengaruhi satu organ atau sistem tubuh pertama. Lain mungkin terlibat kemudian.
Hampir semua orang dengan SLE mempunyai nyeri sendi dan bengkak. Beberapa mengembangkan arthritis .Sering terkena adalah sendi jari-jari, tangan, pergelangan tangan, dan lutut.
Gejala umum lainnya termasuk:
  • Nyeri dada saat mengambil napas dalam-dalam
  • Kelelahan
  • Demam tanpa penyebab lain
  • Umum ketidaknyamanan, kegelisahan, atau perasaan sakit (malaise)
  • Rambut rontok
  • Mulut luka
  • Sensitivitas terhadap sinar matahari
  • ruam Kulit - sebuah "kupu-kupu" ruam atas pipi dan jembatan hidung mempengaruhi sekitar setengah dari orang dengan SLE. Ruam semakin memburuk di sinar matahari. Ruam juga dapat meluas.
  • Pembengkakan kelenjar getah bening
Gejala lain tergantung pada apa bagian tubuh yang terkena:
  • Otak dan sistem saraf:
    • Sakit kepala
    • Penurunan ringan kognitif
    • Mati rasa, kesemutan, atau nyeri di lengan atau kaki
    • Kepribadian perubahan
    • Kegilaan
    • Risiko stroke
    • Kejang
    • Visi permasalahan
  • Saluran pencernaan: nyeri perut, mual, dan muntah
  • Jantung: irama jantung abnormal ( aritmia )
  • Ginjal: darah dalam urin
  • Paru-paru: batuk darah dan kesulitan bernafas
  • Kulit: warna kulit merata, jari-jari yang berubah warna saat dingin ( fenomena Raynaud's )

Ujian dan Tes

Diagnosis SLE didasarkan pada adanya paling tidak 4 dari 11 ciri khas dari penyakit. Dokter akan mendengarkan dada Anda dengan stetoskop. Sebuah suara disebut gesekan jantung menggosok atau menggosok gesekan pleura dapat didengar. Sebuah ujian neurologis juga akan dilakukan.
Tes digunakan untuk mendiagnosa SLE bisa meliputi:
Penyakit ini juga dapat mengubah hasil tes berikut:

Pengobatan

Tidak ada obat untuk SLE. Pengobatan ditujukan untuk mengontrol gejala. gejala individual Anda menentukan pengobatan Anda.
Penyakit ringan yang melibatkan ruam, sakit kepala, demam, artritis, radang selaput dada, dan perikarditis tidak memerlukan terapi banyak.
  • obat anti-inflamasi nonsteroid (NSAIDs) digunakan untuk mengobati rematik dan radang selaput dada.
  • Krim kortikosteroid digunakan untuk mengobati ruam kulit.
  • Obat antimalaria (hydroxychloroquine) dan kortikosteroid dosis rendah kadang-kadang digunakan untuk gejala kulit dan artritis.
Anda harus memakai pakaian pelindung, kacamata hitam, dan tabir surya ketika di bawah sinar matahari.
Berat atau gejala yang mengancam kehidupan (seperti anemia hemolitik , jantung yang luas atau keterlibatan paru-paru, penyakit ginjal , atau sistem saraf pusat keterlibatan) seringkali membutuhkan pengobatan oleh rheumatologist dan spesialis lainnya.
  • Kortikosteroid atau obat untuk mengurangi respon sistem kekebalan tubuh mungkin diresepkan untuk mengontrol berbagai gejala.
  • obat sitotoksik (obat yang menghambat pertumbuhan sel) digunakan untuk mengobati orang yang tidak merespon dengan baik terhadap kortikosteroid, atau yang tidak dapat berhenti mengkonsumsi kortikosteroid tanpa gejala mereka semakin buruk.

Dukungan Groups

Untuk informasi tambahan dan dukungan, lihat sumber daya lupus .

Outlook (Prognosis)

Hasil untuk orang-orang dengan SLE telah membaik dalam beberapa tahun terakhir. Banyak orang dengan SLE memiliki penyakit ringan. Wanita dengan SLE yang hamil seringkali mampu membawa aman untuk panjang dan melahirkan bayi yang normal, selama mereka tidak memiliki ginjal yang parah atau penyakit jantung dan SLE sedang diobati dengan tepat.
Kehadiran antibodi antifosfolipid dapat meningkatkan kemungkinan keguguran.
Tingkat kelangsungan hidup 10-tahun untuk pasien lupus lebih besar dari 85%. Orang dengan keterlibatan parah otak, paru-paru, jantung, dan ginjal lebih buruk daripada yang lain dalam hal kelangsungan hidup secara keseluruhan dan cacat.

Kemungkinan Komplikasi

Beberapa orang dengan SLE memiliki simpanan antibodi dalam sel (glomeruli) dari ginjal. Hal ini menyebabkan kondisi yang disebut nefritis lupus . Pasien dengan kondisi ini akhirnya dapat mengembangkan gagal ginjal dan membutuhkan dialisis atau transplantasi ginjal.
SLE menyebabkan kerusakan pada bagian yang berbeda dari tubuh, termasuk:

Kapan Kontak Profesional Medis

Hubungi penyedia pelayanan kesehatan Anda jika Anda mengembangkan gejala SLE. Juga, panggilan jika Anda memiliki SLE dan gejala menjadi lebih buruk atau jika gejala baru berkembang.

Nama Alternatif

Disebarluaskan lupus eritematosus; SLE, Lupus, Lupus eritematosus

Referensi

Ruiz-Irastorza G, Ramos-Casals M, Brito-Zeron P Khamashta, MA. Klinis kemanjuran dan efek samping anti-malaria dalam lupus eritematosus sistemik: review sistematis. Ann selesma Dis . 2010; 69:20-28.
Hahn BH, BP Tsao. Patogenesis dari lupus eritematosus sistemik. Dalam: GS, Budd RC, Harris, Jr DE et al. Firestein, eds. 's Textbook of Rheumatology Kelley . 8 ed. Philadelphia, Pa: Saunders Elsevier; 2008: chap 74.

pelatihan BT&CLS RS.Dustira pelatihan BT&CLS RS.Dustira Instaldik RS. Dustira bekerjasama dengan Yayasan Ambulan Gawa...